TOPRILIS.COM, JAKARTA - Polri menjadi salah satu pihak yang terus disorot dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022 yang menewaskan 131 orang. Meski demikian ada sikap sangat kontras yang ditunjukkan oleh Polresta Malang Kota dibandingkan sikap Mabes Polri setelah insiden maut itu terjadi.
Sedikit kilas balik, peristiwa kericuhan yang menelan korban jiwa itu terjadi setelah pertandingan antara Arema FC dan Persebaya dalam kompetisi Liga 1 pada 1 Oktober 2022 lalu.
Saat itu Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya. Setelah pertandingan, sejumlah pendukung Arema, Aremania, turun ke lapangan dengan harapan menemui para pemain idola mereka. Namun, beberapa di antaranya ada juga yang diduga melakukan kekerasan.
Saat itu pendukung Persebaya, atau dikenal dengan julukan Bonek, tidak diperkenankan hadir di Stadion Kanjuruhan untuk menghindari kericuhan. Sebab, kedua tim beserta para pendukungnya dikenal sebagai rival bebuyutan.
Hal itu membuat aparat keamanan yang terdiri dari kepolisian dan TNI berupaya menghalau massa Aremania yang mulai mendekati lorong ruang ganti pemain.
Saat itulah mulai terjadi kericuhan. Sejumlah aparat kepolisian kemudian melepaskan beberapa tembakan gas air mata dengan maksud membubarkan penonton.
Akan tetapi, dari rekaman terlihat aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke tribun yang masih penuh dengan penonton yang duduk untuk menunggu giliran keluar.
Alhasil saat itu massa penonton berlarian menyelamatkan diri dari asap gas air mata. Mereka kemudian berebut menuju pintu keluar. Akibatnya para penonton itu berdesak-desakan dan terhimpit hingga ada yang jatuh terinjak-injak dan kehabisan napas.
Selain para penonton yang meninggal, terdapat 2 polisi yang meninggal akibat terjebak himpitan di akses pintu keluar. Mereka adalah Briptu Fajar Yoyok Pujiono dan Bripka Andik Purwanto.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 6 Oktober 2022 mengumumkan enam orang ditetapkan sebagai tersangka tragedi Kanjuruhan.
Mereka adalah Akhmad Hadian Lukita (Dirut LIB), Abdul Harris (Ketua Panpel), Suko Sutrisno (Security Officer), Wahyu SS (Kabag Ops Polres Malang), H (Brimob Polda Jatim), BSA (Kasat Samapta Polres Malang).
Sujud
Sebagai wujud permintaan maaf dan aksi spontanitas, Kapolresta Malang Kota, Kombes Budi Hermanto, bersujud bersama para anggota kepolisian lainnya pada kegiatan apel pagi di halaman Mapolresta Malang Kota, Senin (10/10/2022).
Dia mengatakan, aksi bersimpuh dan bersujud itu dilakukan untuk meminta maaf kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, dia menambahkan, aksi tersebut juga sebagai bentuk permintaan maaf kepada para korban tragedi Kanjuruhan beserta keluarganya.
Tak hanya bersimpuh dan bersujud, Buher, sapaan akrab Budi Hermanto, juga memanjatkan doa bersama anggota kepolisian lainnya, termasuk jajaran Pejabat Utama (PJU) dan Kapolsekta di lingkungan Polresta Malang Kota.
"Kita berdoa agar saudara-saudari kita, Aremania dan Aremanita korban tragedi Kanjuruhan bisa diterima di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, serta kita bersama-sama memohon ampun kepada Allah SWT agar peristiwa itu tidak terjadi lagi," kata Buher.
SUJUD: Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Budi Hermanto bersama anggota lainnya tiba-tiba bersimpuh dan bersujud massal untuk menghormati para korban dari tragedi Kanjuruhan -Foto Nett |
Dia pun berharap agar keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas) di Malang bisa kembali kondusif.
"Kami juga berharap agar situasi kembali kondusif dan persoalan tragedi Kanjuruhan segera terselesaikan," ujar Buher.
Kasi Humas Polresta Malang Kota, Ipda Eko Novianto mengaku, aksi permohonan maaf dan doa bersama untuk para korban tragedi Kanjuruhan itu dilakukan secara spontan.
"Sujud permohonan maaf serta memanjatkan doa itu diarahkan oleh Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Budi Hermanto secara spontan pada saat apel," kata Eko, dikutip dari Antara, Senin (10/10/2022).
Dia mengatakan, ada sekira 100 orang anggota Polresta Malang Kota yang mengikuti aksi sujud massal pada saat kegiatan apel pagi.
"Ini sebagai wujud empati kita. Ada keterikatan emosional antara kami (polisi) dengan masyarakat," jelasnya.
Mabes Polri sebut gas air mata tidak mematikan
Di sisi lain, Polri tetap menegaskan korban tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan akibat kekurangan oksigen.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, berdasarkan keterangan dari ahli kedokteran, gas air mata tidak menyebabkan kematian.
“Dari penjelasan para ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban yang luka, dari dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata, tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen,” kata dia, Senin (10/10/2022).
Dedi mengatakan, di stadion saat itu banyak orang berdesak-desakan. Hal ini lah yang membuat banyak orang kekurangan oksigen hingga tewas.
“Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” ujar Dedi.
Ia pun menyampaikan, berdasarkan penjelasan para ahli kedokteran, dampak dari gas air mata tidak mematikan, tetapi menyebabkan iritasi.
Di dalam gas air mata juga tidak ada toksin atau racun yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia.
“Ketika kena gas air mata pada mata khususnya memang terjadi iritasi, sama halnya seperti kita kena air sabun, terjadi perih tapi pada beberapa waktu bisa langsung sembuh dan tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal,” kata dia.
Dedi juga menyatakan, terdapat sejumlah ahli yang menguatkan pendapat gas air mata tidak mematikan.
Mereka adalah ahli kimia dan persenjataan sekaligus dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan, Mas Ayu Elita Hafizah, serta Guru Besar Universitas Udayana sekaligus ahli bidang Oksiologi atau Racun Made Agus Gelgel Wirasuta.
“Beliau (Made Agus Gelgel) menyebutkan bahwa termasuk dari doktor Mas Ayu Elita bahwa gas air mata atau CS ini ya dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” kata Dedi.
Dedi mengatakan, dalam kejadian di Stadion Kanjuruhan, ada 3 jenis gas air mata yang digunakan, yakni pertama berupa asap putih atau smoke.
Kemudian, ada gas air mata yang bersifat sedang untuk mengurai klaster dari jumlah kecil, serta gas air mata dalam tabung merah untuk mengurai masa dalam jumlah yang cukup besar.
“Semua tingkatan ini saya sekali lagi saya bukan expert, saya hanya bisa mengutip para pakar menyampaikan ya CS atau gas air mata dalam tingkatannya tertinggi pun tidak mematikan,” ucap dia. (nasional.kompas.com/Gun)