Oleh Kadarisman - Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong, Kalsel
MASYARAKAT awam sering dikecoh para pengelola negara, baik di eksekutif (pemerintah) ataupun legislatif (DPR, DPRD) pada semua jenjang, dari tingkat nasional hingga tingkat daerah.
Kewenangan yang diembankan negara melalui UUD 45 kepada mereka kerap menjadikan rakyat sebagai orientasi kelas dua untuk dilayani. Perselingkuhan kekuasaan dengan oligarki yang menjadi sponsor kekuasaan saat membeli suara rakyat ketika pemilu telah merongrong kedaulatan rakyat.
Pemerintah cenderung menjadi corong kapitalisme dan legislatif yang mestinya mampu melakukan kontrol justru menjadi tukang stempel.
Pemerintah dewasa ini memandang rakyat sebagai kustomer. Pendekatan paradigma pengembangan teori publik managemen menjadikan rakyat sebagai pelanggan dan pemerintah produsennya. Setiap jasa yang diproduksi pemerintah dijual untuk dibayar oleh rakyat kepada lembaga pelayanan.
Padahal ketika pemilu rakyat menyerahkan daulatnya agar pengelola kekuasaan pemerintah memenuhi hak-hak dasar rakyat menjadi lebih baik. Sebaliknya, pemerintah menyerahkan urusan rakyat ke sektor privat, akses untuk menuju kesana mesti membeli.
Rakyat harusnya dipandang bukan sebagai kustomer tetapi sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana sejatinya. Ketika rakyat telah menyerahkan urusan mengelola negara kepada pemerintah maka pendekatannya harus public service, bukan publik managemen.
Denhart & Denhart memandang apapun urusan pemerintah mesti menitik beratkan pada kepentingan warga negara sebagai rakyat. Prinsipnya rakyat dipandang sebagai pemilik kedaulatan bukan pasar dan pelanggan, serve citizens not customer.
Pemerintahan hadir sebagai pengejawantahan negara untuk melayani, karena hakikat rakyat adalah owner di dalam negara. Rakyat bukan pembeli pelayanan dari pemerintah, melainkan penerima dari konsekuensi logis mandat kekuasaan yang telah mereka berikan sepanjang rasional dan legimate secara normatif dan konstitusional.
Persoalan rakyat sekarang adalah tidak membeli pelayanan akan menyebabkan keterlantaran. Misalnya, di bidang kesehatan, Kalau seorang dari anggota keluarga di rumah tangga sakit maka dia harus membeli angsuran ke BPJS kesehatan untuk keseluruhan anggota keluarga itu. Jika tidak maka tak ada pelayanan, kecuali harus bayar. Fakir miskin dan anak terlantar tak pernah ada dalam pemeliharaan negara sebagaimana semangat konstitusi dasar negara.
Sangat tampak dan terang banyak produk kebijakan pemerintah berkiblat kepada kalangan oligarki, yang pelan-pelan menjadikan rakyat sebagai pembeli atas pelayanan yang dikelola pemerintah.
Undang - Undang (UU) Ciptaker misalnya adalah cermin tirannya penguasa yang menghamba kepada kepentingan kapitalis. UU yang cacat formil dan materil itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. MK minta supaya diperbaiki, selaraskan dengan semangat UUD 45, tapi lagi-lagi penguasa berkilah dengan menerbitkan Perppu. Pemerintah telah melawan kekuasaan kehakiman.
Demikian pula dengan RUU Kesehatan yang ditolak keras oleh Muhammadyah dan organisasi - organisasi profesi yang bersinggungan dengan dunia kesehatan. Alasan penolakan karena polanya sama, produk undang-undang dibuat secara sembunyi-sembunyi tanpa uji publik demi meleberalisasi bisnis di bidang kesehatan. Semua kebijakan dibuat seperti itu.
Jika UU dibuat pemerintah maka DPR nya langsung ketuk palu. Ada pula UU inisiatif dari DPR maka pemerintah juga begitu. Mereka saling menjaga kolusi dan saling menstempelisasi.
Koalisi pemerintah yang hampir di angka 70% membuat yang mengawasi dan diawasi sama sewajah dan serupa, menghianati rakyat. Itulah sebabnya evaluasi kekuasaan wajib dilakukan. Pihak yang mengevaluaai adalah rakyat di ketika pemilu.
Ketika pemilu 2024 kelak nanti digelar maka tidak ada mandat yang tidak digunakan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat serta partai politik yang merupakan infrastruktur penting politik
Selain tidak boleh golput, maka rakyat mesti melihat partai politik mana yang selama ini menjadi bagian permainan kolutif kekuasaan membuat kebijakan tidak memihak rakyat.
Ingat, ada 60.79% kekuatan di DPR adalah tukang stempel legislasi pemerintah, kecuali sedikit partai politik yang masih Istiqomah menjalankan fungsi kontrolnya.
Jadi pemilu itu bukan pesta, tetapi prosesi penyerahan kedaulatan yang bebas dari transaksional demi kepentingan sempit. Karena itu, evaluasi menyeluruh juga harus dilakukan hingga ke tingkat daerah, di DPRD misalnya.
Parpol dan anggotanya yang terpilih ketika pemilu 2019 silam itu mesti ditimbang-timbang lagi. Jika hanya modal duit mereka membayar anda sebagai pemilih, maka persoalan kebaikan bangsa Indonesia dan daerah kita tidak akan pernah lebih baik dan sejahtera serta berkeadilan.
Pemilu sejatinya sarana publik menempatkan negarawan-negarawan untuk mengelola pemerintahan, bukan memindahkan para pebisnis, pengusaha, orang kaya, oligarki ke tampuk pembuat kebijakan seperti yang saat ini terjadi.
Akibatnya, tiap kebijakan kiblatnya adalah menyelamatkan kepentingan pebisnis. Pemilu adalah momentum evaluasi kekuasaan, bukan mencari siapa yang mau bayar!***