Kembali ke Akar: Isiru Ngume Wungkur Merawat Adat dan Banua

FESTIVAL: Festival Budaya Dayak Maanyan Warukin - Foto Dok Adaro Indonesia.

TOPRILIS.COM, KALSEL - Desa Warukin menyimpan kekayaan budaya yang mengalir deras di dalam darah masyarakatnya. Festival Budaya Dayak Maanyan Warukin akan menjadi panggung utama untuk merayakan dan mendalami salah satu ritual terpenting suku Dayak Maanyan: Isiru Ngume Wungkur, atau ritual membuka lahan untuk berladang.

Kembali ke akar budaya, festival ini adalah upaya untuk melestarikan dan mengembangkan adat Dayak Maanyan. Para pemuda bergotong royong, bahu-membahu mewujudkan kelestarian dan kemeriahan festival budaya Maanyan.

“Festival ini dimulai pada tahun 2022, tahun ini menjadi tahun ketiga. Sebelumnya, perayaan budaya hanya dilakukan oleh kelembagaan adat, bukan dalam bentuk festival. Kami ingin melibatkan para pemuda dan memastikan bahwa adat istiadat tetap hidup dan berkembang di kalangan generasi muda,” ujar Rima Riati Sekretaris Festival Budaya Dayak Maanyan dengan semangat.

Festival Budaya Dayak Maanyan Warukin adalah satu-satunya festival budaya yang menampilkan adat Maanyan di Kalimantan Selatan, karena kebanyakan Dayak Maanyan berada di Kalimantan Tengah.

“Di Warukin, kami memiliki keunikan dan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Anak muda zaman sekarang cenderung kurang peduli dengan budaya, sehingga kami ingin festival ini menjadi jembatan bagi mereka untuk lebih mengenal dan mencintai adat istiadat yang dimiliki,” tambahnya.

Rencana festival ini akan terselenggara pada 23-25 Agustus 2024. Tema festival, Isiru Ngume Wungkur, berfokus pada ritual membuka lahan untuk berladang. Ritual ini bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga sebagai sebuah simbol spiritual yang mendalam.

Angki, Ketua Festival Budaya Dayak Maanyan Warukin, menjelaskan pentingnya ritual ini dalam kehidupan suku Dayak Maanyan. “Isiru Ngume Wungkur adalah bagian dari hukum adat ketiga, ‘Ngume Naum’. Ritual ini berawal dari mimpi yang dialami seseorang, di mana leluhur memberi petunjuk bahwa ia harus membuka lahan untuk berladang,” jelas Angki.

Tradisi ini memiliki makna yang dalam. Membuka lahan untuk berladang dimaknai dengan memperhatikan arah jatuhnya pohon saat menebas. Di mana arah jatuhnya pohon, di situlah pohon berikutnya ditebas.

“Kami percaya bahwa jika kami melaksanakan ritual ini dengan benar, kami akan mendapatkan hasil panen yang baik. Ini adalah cara kami menghormati tanah dan leluhur kami,” kata Angki.

Tidak hanya menampilkan ritual Isiru Ngume Wungkur, tetapi juga berbagai kegiatan yang merayakan kekayaan budaya Dayak Maanyan. Salah satunya adalah Pawai Apui, atau pawai obor bambu, yang akan menjadi simbol awal dari rangkaian acara. Pawai ini menggambarkan tradisi masyarakat yang dulu menyadap karet dengan membawa obor pada pagi hari sebelum mentari terbit.

 “Kalau dulu sebelum adanya senter, menyadap karet itu turunnya jam 5 pagi sambil membawa culuk atau obor bambu. Juga sebagai simbolis ke masyarakat bahwa akan dimulainya suatu acara,” terang Rima. Selain itu, festival ini juga akan menyajikan pertunjukan Tanuhui atau bakisah jenaka, sebuah stand up komedi dalam bahasa Maanyan, serta musik dan tarian tradisional seperti Giring-Giring, Dadas, dan lainnya.

Ada juga perlombaan permainan tradisional yang menghibur dan mendidik, seperti Mutu Parei, Balogo, Bakahing, serta berbagai stand perwakilan dari masing-masing RT Desa Warukin yang menampilkan kuliner khas, kerajinan tangan, dan produk hasil ladang masyarakat Warukin. “Festival ini tidak hanya tentang pertunjukan, tetapi juga tentang berbagi dan menjaga tradisi. Setiap stand akan berlomba untuk menampilkan kreativitas dan keunikan mereka,” tambah Rima.

Rima mengungkapkan, dukungan dari berbagai pihak sangat berarti, seperti yang diberikan oleh PT Adaro Indonesia yang selama ini konsisten memberikan dukungannya.  “Kami mendapat bantuan dari PT Adaro Indonesia, yang tidak hanya memberikan dana, tetapi juga membimbing kami selama persiapan festival,” ujar Rima.

Djoko Soesilo, Departemen Head PT Adaro Indonesia mengungkapkan betapa Adaro sangat concern terhadap nilai-nilai keadatan, seni dan kebudayaan masyarakat Dayak. Kebijakan persahaan dinilainya sangat jelas dan dapat dirasakan dalam mengangkat kebudayaan lokal di Kabupaten Tabalong.

“Adaro ingin nilai-nilai kebudayaan lokal menguat dan lestari, termasuk kelembagaan adatnya sehingga dapat mengangkat harkat dan eksistensi kebudayaan setempat, membangun harmoni antarbanyak pihak,” ujar Djoko Soesilo.

Djoko Soesilo mengatakan tidak hanya Festival Dayak Maanyan, tapi juga Masiwah Pare Gumboh (MPG) yang sudah berhasil masuk kalender evan nasional di Balangan. “Semua itu merupakan kesungguhan dari komitmen Adaro merawat adat dan banua,” ujarnya.(rls/elhami)

Muhammad Elhami

“sesobek catatan di antara perjalanan meraih yang kekal dan memaknai kesementaraan; semacam solilokui untuk saling mengingatkan, saling menguatkan, berbagi keresahan dan kegetiran, keindahan dan kebahagiaan, agar hidup menjadi cukup berharga untuk tidak begitu saja dilewatkan”

Lebih baru Lebih lama